Senin, 23 April 2012

Dilema Keluarga Penderita Gangguan Jiwa

Oleh Gading Ekapuja Aurizki
Memilukan! Di Tulungagung, seorang ibu bernama Yahmi, 31, tega menyembelih dua anak kandungnya, yakni Arina, 5, dan Ayen, 3, dengan sebilah sabit. Dua bocah tak berdosa itu tewas seketika dengan leher nyaris putus. Berdasarkan penuturan keluarga, diketahui Yahmi pernah dua kali dirawat di rumah sakit jiwa (RSJ) Lawang, Malang (Jawa Pos, 17/4/2012). Kasus ini bukan kasus pembunuhan biasa. sehingga perlu dilihat dari beberapa sudut pandang. Jika terbukti mengalami gangguan jiwa, polisi akan membebaskan Yahmi. Lantas, siapa yang paling bertanggung jawab atas peristiwa ini?
Hukum dan Gangguan Jiwa
Untuk menangani kasus ini, polisi sampai harus membawa Yahmi ke psikiater. Dari segi hukum, jika terbukti menderita gangguan jiwa, Yahmi tidak akan dipidana. Itu mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 44 ayat (1) yang menyebutkan, “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
Pada kasus seperti ini, hukum seringkali dirasa tidak berpihak pada korban. Logikanya nyawa dibayar dengan nyawa, atau setidaknya ada hukuman setimpal yang diberikan. Namun mengapa karena tersangka menderita gangguan jiwa, mereka tidak dipidana?
Perlu dipahami bahwa orang dengan gangguan jiwa tidak memiliki kontrol penuh atas diri mereka. Dikarenakan pusat kontrol diri mereka (otak) mengalami gangguan, entah karena ada kelainan saraf (neurosa) atau memang terganggu kejiwaannya (psikosa). Jika mereka sampai membunuh atau melakukan hal-hal lain yang merugikan orang lain, tidak ada yang dapat menghukum mereka. Sebagai gantinya, pada KUHP pasal 44 ayat (2) dijelaskan bahwa hakim dapat memerintahkan untuk memasukkan penderita ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai masa percobaan.
Salah Siapa?
Yahmi memang kemungkinan besar tidak akan dijerat sanksi pidana. Namun kasus ini tidak bisa dianggap selesai begitu saja. Bagaimana mungkin seorang wanita yang terindikasi menderita gangguan jiwa, dipasrahi tugas mengurus anak-anak yang masih kecil, sendirian tanpa didampingi orang lain? Perlu ada yang bertanggung jawab atas musibah yang terjadi.
Seharusnya, keluarga tersangka (penderita gangguan jiwa) menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus ini. Itu karena keluarga tahu kalau Yahmi terindikasi mengalami gangguan jiwa dan pernah dua kali masuk RSJ. Bahkan 18 hari sebelum kejadian Yahmi baru pulang menjalani perawatan (Jawa Pos, 17/4/2012). Tetapi mengapa dari keluarga tidak ada tindakan pencegahan?! Atau minimal sikap waspada terhadap perilaku Yahmi yang mencurigakan?
Keluarga sebagai pihak terdekat memiliki kewajiban mengawasi setiap tindakan dan perilaku penderita. Seringan apapun gejalanya, pengawasan tetap diperlukan. Dalam kasus Yahmi, pengawasan keluarga tidak adekuat. Sehingga ia memiliki kesempatan untuk melancarkan aksinya menyembelih korban. Kemungkinan besar penyembelihan terjadi lantaran ibu penderita dan suami meninggalkannya bersama korban sendirian di rumah. Saat itu, mereka berdua pergi ke kantor kecamatan untuk foto e-KTP. Ini merupakan bentuk kelalaian keluarga dalam mengawasi dan menjaga penderita.
Dilema dan Solusi
Di masyarakat kita berkembang mindset bahwa orang gangguan jiwa identik dengan hal-hal negatif. Mereka dianggap sampah, aib, kotor, menjijikkan, dan sebagainya. Sehingga orang cenderung menutup-nutupi kalau ada anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Keluarga malu jika “aib” keluarganya tersebar sehingga dipergunjingkan banyak orang.
Idealnya, pasien gangguan jiwa harus dirawat di RSJ. Selain untuk menjalani perawatan intensif, juga agar pasien mendapatkan perhatian yang cukup dari para perawat dan tenaga kesehatan lain. Sayangnya karena pertimbangan beberapa hal di atas, banyak keluarga yang enggan memasukkan penderita ke RSJ. Inilah yang menjadi dilema. Di satu sisi, keluarga merasa harus mencari solusi atas penyakit yang menimpa penderita, di sisi lain mereka begitu memperhitungkan reputasi keluarga di mata masyarkat.
Padahal jika keluarga mau berpikir positif, memasukkan penderita ke RSJ bisa meminimalkan munculnya perilaku membahayakan, atau dalam istilah keperawatan risiko tinggi mencerderai diri. Baik itu bagi diri penderita sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Hal ini juga akan mengurangi kekhawatiran masyarakat terhadap perilaku penderita.
Sebenarnya ada cara lain untuk merawat penderita tanpa harus memasukkannya ke RSJ, yaitu mendatangkan perawat ke rumah (home care). Namun di Indonesia, home care untuk kasus kesehatan jiwa masih jarang dan belum terlalu berkembang. Jika ada pastilah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sehingga saat ini solusi yang paling efektif adalah memasukkan penderita ke RSJ.
Jika masih dirasa berat, ada baiknya keluarga menghubungi pihak RSJ dan melaporkan bahwa ada anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Dengan begitu pihak RSJ bisa melakukan health education kepada keluarga penderita tentang cara penanganan dan pengawasan, tanpa harus memasukkannya ke sana. Health education yang bisa diberikan, antara lain; (1) Setiap aktivitas penderita harus selalu dibawah pengawasan. Jika keluarga perlu ke luar rumah, sebaiknya bergantian. (2) Keluarga mengkondisikan benda-benda tajam dan pecah belah seperti pisau, garpu, sabit, piring dan gelas di tempat yang aman dari jangkauan penderita. Penderita juga jangan diberi pekerjaan yang melibatkan alat-alat tersebut. (3) Keluarga harus memiliki kontak telepon puskesmas atau rumah sakit umum/jiwa terdekat. Jika ada ada tanda-tanda perilaku yang membahayakan, penderita bisa langsung mendapatkan penanganan.
Menangani penderita gangguan jiwa harus dengan cara yang tepat. Jangan sampai di kemudian hari ada Yahmi-Yahmi lain yang melakukan tindakan serupa atau bahkan lebih kejam. Semoga!

1 komentar:

  1. Salaam… Sahabatku, Maaf, sekedar berbagi informasi, dan semoga bermanfaat. Sahabatku Yth. Jika ada diantara Anda, keluarga atau sahabat Anda terkena penyakit gangguan jiwa/gila, maka insya Allah saya bisa membantu mengobatinya tanpa membutuhkan waktu lama. Hanya sekali pengobatan/sentuhan dari saya kepada pasien insya Allah penyakit sudah berangsur membaik, bahkan sembuh. Adapun biaya jasa pengobatan atas pasien gangguan jiwa adalah relatif murah dan dapat dimusyawarahkan. Silahkan hubungi : SYAHWIR PAPUDE. Alamat: Jl.Rasuna Said no.102 Kota Padang Panjang-Sumatera Barat 27111. Telfon: 0813.7456.3900. Terimakasih – SALAAM !!

    BalasHapus